Kemiskinan di perkotaan Indonesia kembali menjadi sorotan dalam dua pekan terakhir. Berbagai liputan lapangan dan analisis pakar menunjukkan bahwa meski pemerintah mengklaim angka kemiskinan nasional menurun, realitas di kota-kota besar justru menunjukkan gejala sebaliknya.
Kemiskinan di perkotaan meningkat karena kombinasi beberapa faktor seperti maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK), melonjaknya harga kebutuhan pokok, hingga penggusuran yang meminggirkan warga miskin kota dari ruang hidupnya.
PHK MASSAL, AKAR LONJAKAN WARGA MISKIN KOTA
Dalam laporan terbaru, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyebutkan lebih dari 70 ribu buruh mengalami PHK sejak awal 2025. Tak hanya sektor industri, tetapi juga ritel di mal dan pusat perbelanjaan. Para buruh yang dirumahkan menyebut fenomena “Rohana/Rojali” – pembeli yang hanya melihat-lihat tanpa belanja – sebagai tanda turunnya daya beli masyarakat perkotaan.
Ekonom dari Indef menegaskan fenomena ini bukan hal mengejutkan. Banyak perusahaan yang gulung tikar, terutama di sektor informal perkotaan. Kondisi ini mendorong ribuan keluarga jatuh miskin karena hilangnya sumber pendapatan tetap. Menurut para analis, jika tren PHK tidak segera ditangani, jumlah warga miskin kota akan terus meningkat meski secara nasional angka kemiskinan menurun.
LIPUTAN LAPANGAN: HIDUP SULIT DI PEMUKIMAN PADAT
Media juga menyoroti kisah warga miskin perkotaan yang menghadapi tantangan berat setiap hari. Salah satu cerita datang dari Muara Angke, Jakarta Utara, tempat puluhan keluarga terusir akibat penggusuran. Fani, seorang ibu rumah tangga, menceritakan bahwa keluarganya hanya menerima Rp1 juta sebagai kompensasi saat rumahnya digusur. Padahal, untuk membangun rumah panggung baru di atas rawa, mereka harus mengeluarkan sekitar Rp20 juta dari tabungan pribadi.
Ironisnya, harga sewa rumah di kampung sekitar juga tinggi, mencapai Rp600 ribu per bulan. Bagi keluarga miskin kota dengan pendapatan tak menentu, biaya ini sangat memberatkan. Kondisi seperti Fani bukanlah kasus tunggal. Laporan LBH Jakarta mencatat lebih dari 400 kasus penggusuran di kota-kota besar dalam beberapa tahun terakhir, berdampak pada puluhan ribu keluarga miskin dan usaha kecil.
HAK ATAS TANAH: WARGA MISKIN KOTA TERPINGGIRKAN
Masalah kemiskinan kota juga berkaitan dengan hak atas tanah. warga miskin sering dianggap “penduduk ilegal” karena tidak memiliki sertifikat. Dalam salah satu wawancara, Menteri ATR/BPN bahkan menyatakan bahwa tanah milik negara tidak boleh ditempati tanpa izin resmi. Pernyataan ini memicu kritik keras dari aktivis dan akademisi, karena dinilai mengabaikan realitas warga miskin kota yang sudah tinggal di kawasan itu puluhan tahun.
Alih-alih diberdayakan, warga miskin kota seringkali digusur demi pembangunan infrastruktur atau proyek properti. Penggusuran tanpa solusi perumahan layak justru memperdalam jurang Kemiskinan di perkotaan.
HARGA KEBUTUHAN POKOK DAN TEKANAN HIDUP DI KOTA
Selain masalah pekerjaan dan tempat tinggal, harga kebutuhan pokok yang terus naik juga memperberat beban warga miskinn kota. Minyak goreng, cabai rawit, dan bawang putih menjadi komoditas yang paling sering dikeluhkan. Tidak seperti masyarakat desa yang masih bisa memproduksi sebagian kebutuhan pangan sendiri, warga kota sepenuhnya bergantung pada pasar.
Ketika harga melonjak, keluarga miskin perkotaan langsung tertekan karena sebagian besar pendapatan mereka habis untuk kebutuhan makan sehari-hari. Situasi ini membuat mereka sangat rentan jatuh ke dalam jurang kemiskinan ekstrem.
SOLUSI PEMERINTAH DARI BANSOS KE PEMBERDAYAAN
Meski pemerintah terus menyalurkan bantuan sosial, banyak pakar menilai solusi tersebut hanya bersifat jangka pendek. Indef menyarankan pemerintah untuk beralih ke program jangka panjang, seperti meningkatkan akses pendidikan, pelatihan kewirausahaan, dan pembiayaan mikro. Dengan begitu, warga miskin kota bisa membangun usaha sendiri dan keluar dari ketergantungan terhadap bantuan tunai.
Serikat pekerja juga menekankan pentingnya perlindungan buruh kota agar PHK tidak semakin marak. Sementara aktivis pemukiman mendesak adanya reforma agraria perkotaan agar warga miskin mendapat hak atas tanah dan perumahan layak. Tanpa langkah-langkah ini, Kemiskinan di perkotaan hanya akan menjadi lingkaran setan yang sulit diputus.
Kemiskinan di perkotaan di Indonesia bukan sekadar angka dalam laporan statistik. Ia hadir dalam bentuk nyata: PHK massal yang membuat keluarga kehilangan penghasilan, penggusuran yang memaksa warga mencari tempat tinggal baru, serta harga kebutuhan pokok yang terus mencekik.
Solusi untuk mengatasi masalah ini tidak bisa hanya berupa bansos, tetapi harus mencakup perbaikan struktural: penciptaan lapangan kerja berkualitas, perlindungan hak atas tanah, serta program pemberdayaan yang berkelanjutan.
Dengan pendekatan komprehensif, diharapkan warga miskin kota bisa mendapatkan kehidupan yang lebih layak dan adil, sesuai cita-cita Indonesia untuk menekan kemiskinan ekstrem hingga nol persen.
(Dirangkum dari pandangan pakar, liputan media, serta kisah nyata warga miskin kota, yang menggambarkan wajah kemiskinan di perkotaan Indonesia hari ini)





0 Comments